Bentuk Karakter Siswa Dulu, Baru Lakukan yang Lain
Dunia anak-anak
adalah dunia yang menyenangkan. Apalagi bisa memahami setiap anak, dapat membantu anak-anak menyelesaikan masalah mereka, dan memberikan
motivasi. Hal inilah yang menjadi rutinitas saya mulai tahun 2012. Saya
mengajar IPA terpadu di MTs swasta di
kabupaten Malang. MTs tempat saya mengajar, berada di desa yang kesadaran
pendidikan masyarakatnya masih rendah.
Ketika awal
mengajar, saya sempat pesimis dengan kondisi lingkungan peserta didik. Banyak
peserta didik yang berasal dari keluarga broken
home. Lingkungan masyarakat yang kurang menyadari pendidikan. Kondisi
lingkungan tersebut menyebabkan peserta didik kurang semangat dalam belajar. Bahkan
ketika ujian pun, ada peserta didik yang
tidak membaca soal. Jumlah soal 40 butir, di lembar jawaban dijawab 50 nomor. Bahkan ada yang menjawab pertanyaan essai dengan jawaban
“maaf pak saya tidak bisa”.
Ketika saya
panggil satu per satu anak dan saya tanya apakah ingin melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi setelah lulus MTs, banyak di antara peserta didik yang menjawab
“tidak melanjutkan”. Mereka ingin bekerja bangunan, bertani membantu orang
tuanya, dan juga kerja di toko-toko yang ada di kota.
Baca Juga: Peran Guru Sebagai Pendidik, Bukan Hanya Pengajar
Melihat kondisi yang seperti ini, saya sempat tertular virus “kurang semangat”, sehingga saya hanya datang untuk menjelaskan materi. Saya merasa pesimis. Emosi saya tidak stabil dan kadang tidak terkontrol sehingga saya sering marah ke peserta didik yang menurut saya nakal.
Satu tahun saya
menjalani profesi sebagai guru yang pesimis terhadap kondisi peserta didik.
Saya merasa jenuh dengan profesi saya, jika hanya datang dengan pesimis. Saya
berusaha membaca berbagai referensi tentang pembelajaran. Beberapa bulan
kemudian, saya mendapatkan ide tentang mengajar peserta didik yang kondisinya
kurang semangat karena pengaruh lingkungan kurang baik. Yakni dengan membawa
video beberapa tokoh inspiratif. Untuk memutar video tersebut saya sering
mengambil jam pelajaran IPA saya. Apa yang saya lakukan tersebut tidak terlalu
berpengaruh pada peserta didik terutama kelas IX. Mungkin karena pola pikir mereka
sudah terbentuk, sehingga sukar diubah.
Usaha saya untuk
merubah pola pikir peserta didik tidak berhenti begitu saja. Ketika rapat, saya
berusaha mengajak teman-teman membahas nasib peserta didik. Mencari solusi
terbaik untuk peserta didik. Saya mengusulkan kepada teman-teman, untuk
mengutamakan perubahan sikap. Masalah nilai kognitif dipikir belakangan. Nilai
itu mudah didapatkan, yang penting sikap yang baik tertanam dan merubah pola
pikir mereka ke arah yang lebih baik. Pada awalnya, usul saya belum bisa
dilakukan sepenuhnya, karena masih terbiasa dengan prioritas pada nilai ujian
berupa angka yang tertera dikertas, baik itu raport, ijazah ataupun yang lain. Lama-kelamaan
melalui trial dan error, kemudian evaluasi, program
pendidikan character building bisa
berjalan.
Saya memulai
pembelajaran sikap dari hal-hal yang sederhana. Setiap kali masuk ke kelas,
saya memeriksa kondisi kebersihan peserta didik dan kelas. Jika ada peserta
didik yang tidak rapi, saya ingatkan. Begitu juga dengan kondisi kelas yang
berantakan, saya mengingatkan untuk menjaga kebersihan kelas. Saya tunggu
sampai kelas bersih, baru saya mau memulai mengajar.
Ketika mengajar
IPA, saya menyisipkan ajaran yang terkandung dalam Qur’an atau Hadits yang ada hubungannya dengan
pembentukan sikap. Salah satu arti ayat yang saya sisipkan adalah terkait
kebiasaan shalat. “Shalat itu mencegah
perbuatan keji dan munkar”. Kemudian saya sering bertanya pada setiap anak,
“sudah shalat berapa waktu rata-rata dalam sehari?”. Ternyata sangat jarang
sekali yang shalat lima waktu. Jika satu kelas ada 35 siswa, yang shalat rutin
lima waktu, hanya ada maksimal tiga anak. Jawaban setiap anak dalam satu kelas
ini saya hubungkan dengan arti ayat “shalat
mencegah perbuatan keji dan munkar”. Saya menjelaskan bahwa, semakin banyak
shalat yang ditinggalkan, maka akan semakin besar peluang melakukan perbuatan
yang tidak baik. Contoh, menjadikan manusia itu malas untuk belajar. Ketika waktunya
belajar, namun disaat yang sama ada teman yang mengajak bermain, maka saya
yakin lebih milih bermain.
Baca Juga: Penyebab Pendidikan di Indonesua Sulit Berkembang (Part 2)
Saya juga sering menangani anak-anak yang memiliki point pelanggaran tinggi. Setelah saya cek, mereka adalah anak-anak yang tidak mau shalat. Saya ajak mereka berpikir kritis tentang arti pentingnya shalat. Saya ajak mereka berpikir tentang kondisi keluarga mereka. Kebanyakan anak-anak yang tidak mau shalat adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home. Saya jelaskan pada mereka bahwa tidak shalat salah satunya menyebabkan kondisi keluarga seperti keluarga anak tersebut, dan jika mereka tetap tidak shalat, kemungkinan besar kondisi broken home juga bisa terulang di keluarga mereka kelak.
Saya terus
menerapkan gaya mendidik dengan mengutamakan perubahan sikap. Setelah saya
evaluasi, hasilnya banyak merubah pola
pikir peserta didik. Jumlah peserta didik yang melanjutkan ke jenjang lebih
tinggi meningkat. Tidak ada lagi yang menjawab soal dengan kalimat “saya tidak bisa pak”. Melihat wajah mereka
ketika mengajar dengan pola pikir yang lebih baik, saya juga menjadi lebih
bersemangat dalam menggeluti profesi sebagai tenaga pendidik. Berbagai usaha
saya lakukan lagi untuk terus meningkatkan kualitas setiap peserta didik.
Pada dasarnya,
kurikulum yang berlaku di Indonesia, sudah terdapat penilaian sikap. Dalam
realitanya, masih sedikit guru yang menerapkannya. Berdasarkan uji coba yang
saya lakukan, sikap yang baik merupakan penentu keberhasilan. Misal, ketika
akan ujian butuh sikap yang baik untuk menghadapinya. Persiapan ujian harus
disiapkan jauh-jauh hari. Persiapan tersebut merupakan sikap yang baik,
dibandingkan menggunakan sistem belajar kebut semalam. Contoh kedua, hasil
ujian tidak sesuai dengan harapan meskipun sudah disiapkan dengan baik. Sikap
yang baik terhadap permasalahan tersebut adalah menerima dengan lapang dada,
mengevaluasi diri kekurangan dalam mempersiapkan ujian. Sebagai guru/ pendidik,
sudah saatnya menjadikan peserta didik menjadi manusia yang memiliki sikap baik
dalam menghadapi segala bentuk permasalahan.
NB: Tulisan ini
pernah dikirim dan dimuat dalam Jawa Pos Radar Malang, Kolom Guru Menulis.
No comments for "Bentuk Karakter Siswa Dulu, Baru Lakukan yang Lain"
Post a comment
Jangan tinggalkan link hidup ya gaes.